Hukum Adat dalam Sengketa Tanah Keranga
Lodovitus Dandung
Sengketa hukum atas tanah yang terletak di Keranga, Toroh Lemma Batu Kallo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menyedot perhatia
n masyarakat Manggarai. Tak pelak lagi, sengketa ini menimbulkan perdebatan hukum, baik di kalangan akademisi-praktisi hukum maupun di kalangan masyarakat awam. Perdebatan itu wajar mengingat masalah hukum atas objek sengketa melibatkan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat yang pada tataran tertentu dapat ditafsirkan sebagai representasi kepentingan publik.
Pada konteks kepentingan publik itu, tulisan ini dimaksudkan
untuk memberikan informasi dan pengetahuan terkait posisi hukum adat dalam
hukum tanah nasional. Dengan demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
memengaruhi proses hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi NTT atau
pihak-pihak terkait lain yang sedang bergumul dalam kasus hukum atas objek
sengketa.
Hukum Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Eksistensi
hukum adat saat ini tak lepas dari peran Cornelis van Vollenhoven, seorang
peneliti hukum yang berhasil membuktikan adanya hukum adat asli yang berlaku
dalam kehidupan suku-suku asli masyarakat Indonesia. Dalam bukunya “Het
Adatrecht van Nederlandsch-Indie” (Leiden: 1913) sebagaimana dijelaskan Laksanto
Utomo dalam Hukum Adat (2019:3), Vollenhoven mendefinisikan hukum adat sebagai
hukum yang tidak bersumber pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau
alat-alat kekuasaan lain yang menjadi sendinya. Senada dengan Vollenhoven,
Djojodigoeno dalam Soerojo Wigjodipoero (1995: 17) menyebutkan bahwa hukum adat
adalah hukum yang tidak bersumber kapada peraturan-peraturan. Hukum adat juga
didefinisikan sebagai kompleks adat-adat yang tidak dikodifikasikan dan
bersifat pemaksaan (Soerjono Soekanto, 2008: 15).
Hukum
adat lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan warga masyarakat terutama
keputusan kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum itu. Hukum
adat pada umumnya memang belum/tidak tertulis (non-statutair), terus hidup dan
tumbuh dalam masyarakat (Laksanto Utomo, 2019: 5-6). Salah satu sifat yang
menonjol dari hukum adat adalah komunal/kekeluargaan di mana komunitas atau
masyarakat lebih penting daripada individu. Selain itu, hukum adat juga
bersifat nyata/riil di mana perbuatan hukum dinyatakan sah bila bentuk
perbuatannya dilakukan secara konkrit (Sumarjati Hartono, 1989: 37).
Hukum
adat berlaku dalam masyarakat hukum adat. Penyebutan masyarakat hukum adat
sendiri masih diperdebatkan karena ada yang menyebutnya dengan istilah persekutuan
hukum, persekutuan adat-istiadat, masyarakat adat (Dominikus Rato, 2015: 81).
Meski demikian, dalam pelbagai peraturan perundangan-undangan, terminologi yang
sering dan umum digunakan adalah masyarakat hukum adat. Ambil contoh Peraturan
Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam peraturan itu, masyarakat hukum adat
didefiniskan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
atau pun atas dasar keturunan. Lepas dari itu, fakta bahwa hukum adat memang
hidup dan berlaku dalam masyarakat berdasarkan faktor wilayah dan keturunan.
Menurut Soepomo, golongan masyatakat hukum adat terbetuk atas dasar: (1)
pertalian suatu keturunan (genealogi); (2) lingkungan daerah (teritorial); dan
(3) penggabungan genealogi dan territorial (Soerjono Soekanto, 2020: 94-95).
Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional
Secara
konstitutif, pengakuan dan penghormatan negara atas kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat berikut hak-hak tradisionalnya baru terjadi pada
amandemen kedua atas UUD 1945 sebagaimana termaktub dalam Pasal 18B ayat (2).
Meski demikian, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia Tahun 1945, penerapan
hukum adat atas tanah telah hidup dan berlangsung turun-temurun dalam kehidupan
masyarakat hukum adat yang tersebar di pelbagai wilayah termasuk Manggarai.
Setelah
kemerdekaan, terdapat dualisme hukum tanah, antara hukum adat dan hukum barat.
Dualisme itu menimbulkan pelbagai masalah antar golongan masyarakat sekaligus
menyebabkan tidak terjaminnya kepastian hukum atas tanah. Kondisi itu kemudian
menjadi sebagaian dasar dan konsiderasi lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dengan
berlakunya UUPA maka terciptalah unifikasi hukum tanah nasional yang bertujuan,
antara lain, meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah.
Lalu,
apakah berlakunya UUPA serta-merta menegasikan eksistensi hukum adat tanah yang
hidup dan berlaku pada masyarakat hukum adat? Tentu tidak! Sebaliknya, hukum
adat atas tanah menjadi sumber dan dasar bagi hukum tanah nasional sebagaimana
ditegaskan dalam konsiderasi Berpendapat huruf a UUPA. Hal senada ditegaskan
pula dalam Penjelasan Umum angka III nomor (1) UUPA yang menyatakan: “Dengan
sendirinya hukum agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum
daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indoesia sebagian besar tunduk pada
hukum adat maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada
ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli…,.”
Penjelasan
umum itu dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 5 UUPA yang menyatakan:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, …,.” Dalam
penjelasan pasal ini ditegaskan pula bahwa hukum adat dijadikan dasar dari
hukum agraria yang baru. Penegasan lain tentang keberlakuan hukum adat atas
tanah tercantum dalam penjelasan Pasal 16, Pasal 56, dan secara tidak langsung
dalam Pasal 58 UUPA (Boedi Harsono, 2008: 177).
Mengacu
pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, UUPA menyebutkan bahwa bumi (tanah)
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara (Pasal 2 ayat (1). Hak menguasai
oleh negara meliputi wewenang untuk: (1) mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah; (2) menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah; dan (3)
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah (Pasal 2 ayat (2). Lebih lanjut,
dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa “Atas dasar hak menguasai dari negara
maka ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama, serta
badan-badan hukum.”
Hak
menguasai oleh negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh
seseorang lebih luas dan penuh daripada atas tanah yang dipunyai seseorang
dengan hak tertentu. Artinya, negara dapat memberikan tanah yang tidak dipunyai
dengan hak tertentu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut
peruntukkan dan keperluannya. Namun demikian, kekuasaan negara atas tanah-tanah
itu sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada
sebagaimana dijelaskan dan Penjelasan Umum UUPA.
Salah
satu hak masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara adalah hak atas tanah
ulayat. Perihal tanah ulayat, Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999
mendefinisikannya sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu (Pasal 1 angka 2). Sementara itu, yang
dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun termurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan
(Pasal 1 angka 1). Pengakuan hak ulayat dalam hukum tanah nasional mengacu pada
ketentuan Pasal 3 UUPA yang menyatakan: “…, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.” Namun demikian, perlu juga diingatkan bahwa semua hak atas tanah, tak
terkecuali hak ulayat mempunyai fungsi sosial. Tidaklah dibenarkan bahwa hak
atas tanah apa pun yang ada pada seseorang atau kelompok masyarakat semata-mata
dipergunakan untuk kepentingan pribadinya (Pasal 6 UUPA dan penjelasannya).
Pengakuan
negara atas masyarakat hukum adat dengan segala hak yang melekat di dalamnya
berarti menegaskan posisi masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum. Dalam
buku Hukum Adat Kontemporer, Rato menjelaskan bahwa ada dua subjek hukum dalam
hukum adat yaitu individu dan komunitas (Dominikus Rato, 2015: 86). Oleh karena
masyarakat hukum adat merupakan subjek hukum maka masyarakat hukum adat dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas obyek-obyek hukum (misal tanah) yang
dimilikinya.
Berdasarkan
uraian-uraian terkait posisi hukum adat dalam hukum tanah nasional dan
dihubungkan dengan sengketa kepemilikan Tanah Keranga maka kajian hukum adat
atas obyek sengketa tentu memiliki pendasaran yuridis dan teoritis yang jelas.
Hukum Adat Berlaku atas Tanah Keranga
Sengketa
Tanah Keranga tidak bisa dilepaspisahkan dari keberlakuan hukum adat atas objek
sengketa. Patut digarisbawahi bahwa keberlakukan hukum adat termaksud harus
ditempatkan pada konteks ketika proses pengadaan tanah itu terjadi.
Mencermati
beberapa fakta yang terungkap ke publik, setidaknya ada tiga alasan mengapa
hukum adat berlaku atas Tanah Keranga, antara lain:
Pertama,
adanya Fungsionaris Adat/Tu’a Adat Nggorang. Tahun 1997, Tu’a Adat Nggorang
yang diwakili oleh Haji Ishaka dan Haku Mustafa yang bertindak untuk dan atas
nama diri pribadi dan mewakali masyarakat adat Nggorang mengadakan rapat
musyawarah dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai yang diwakili oleh Gaspar
Parang Ehok selaku Bupati Manggarai saat itu. Musyawarah itu menyangkut
keperluan tanah oleh Pemerintah Manggarai untuk kepentingan pembangunan Sekolah
Perikanan dan Kelautan. Permintaan itu kemudian mendapat persetujuan dari Tu’a
Adat Nggorang dengan menunjuk dan menyerahkan Tanah Keranga kepada Pemerintah
Manggarai. H. Ishaka dan Haku Mustafa selaku pribadi pun dalam jabatannya
sebagai Tu’a Adat Nggorang adalah subyek hukum masyarakat hukum adat Nggorang
sehingga keduannya memiliki kapasitas hukum untuk melakukan perbuatan hukum
atas Tanah Keranga yang merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat Nggorang.
Dari perspektif ini jelas bahwa keputusan penyerahan Tanah Keranga kepada
Pemerintah Manggarai oleh keduanya adalah sah dan mengikat secara hukum.
Lalu,
apa dokumen yang membuktikan adanya peristiwa hukum itu? Dalam perspektif hukum
adat, pertanyaan itu tidak relevan karena hakikat hukum adat merupakan hukum
tidak tertulis. Dengan demikian, ada atau tidak adanya dokumen bukti
persetujuan dan penyerahan Tanah Keranga, sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menyangkal pun menegasikan keputusan yang telah disepakati bersama dalam suatu
rapat musyawarah antara Tu’a Adat Nggorang dan Pemerintah Manggarai. Jadi, secara
hukum adat keputusan penyerahan Tanah Keranga yang dilakukan di dalam rapat
musyawarah itu telah bersifat final, sah dan mengikat.
Kedua,
Tanah Keranga merupakan tanah ulayat. Ada tiga alasan yang mendasari
argumentasi Tanah Keranga dikategorikan sebagai tanah ulayat, antara lain: (a)
Pemerintah Manggarai meminta tanah tersebut kepada Tu’a Adat Nggorang. Dalam
hal tanah itu bukan tanah ulayat maka proses pengadaannya tentu tidak
melibatkan Tu’a Adat Nggorang. Pemerintah Manggarai (baca negara) saat itu
dengan kewenangan menguasai tanah yang melekat padanya, untuk kepentingan
sosial, dapat secara langsung mengajukan permohonan hak kepada instansi
terkait. Dengan dilibatkannya Tu’a Adat Nggorang dalam proses pengadaan tanah
maka jelas tanah tersebut merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat
Nggorang; (b) Luas tanah melampaui batas maksimal kepemilikan tanah yang
ditetapkan oleh undang-undang. Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 Tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian menetapkan bahwa seseorang atau satu keluarga
tidak boleh menguasai tanah lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering atau
tanah kering dan sawah. Untuk keadaan daerah yang khusus, atas izin Menteri
Agraria luas maksimal dapat ditambah menjadi 25 hektar. Berdasarkan pembatasan
itu maka klaim kepemilikan individual atas Tanah Keranga terbantahkan secara
hukum positif; (c) Luas tanah tidak disebutkan secara pasti ketika penyerahan
berlangsung. Terminologi tanah ulayat memang terdengar asing di telinga
masyarakat hukum adat, tak terkecuali masyarakat Manggarai. Namun tidak
demikian ketika menyebut kata Lingko/Tana Adat yang pada prinsipnya memiliki
kesamaan konsep sebagai tanah hak komunal. Luas sebuah Lingko tidak dapat
diketahui sebelum dibagikan kepada masing-masing individu/kepala keluarga
menurut bagian haknya. Pula, dalam konteks Lingko, pengukuran luas tidak
berbasis satuan meter persegi tetapi berbasis Moso (jemari tangan).
Ketiga,
pemberian tanah ditujukan untuk kepentingan sosial yaitu pembangunan Sekolah
Perikanan dan Kelautan. Sudah lazim terjadi di Manggarai, Tu’a Adat yang
mewakili masyarakat menyerahkan tanahnya untuk kepentingan sosial, terutama
untuk pendirian sekolah dan rumah ibadat. Tidak berpretensi menggeneralisasi
semua peristiwa hukum penyerahan tanah untuk kepentingan sosial serta
diperlukannya elaborasi lebih lanjut, pada waktu lampau penyerahan tanah untuk
kepentingan sosial jamak dilakukan tanpa kompensasi ganti rugi. Luas tanahnya
pun variatif bergantung kebutuhan dan peruntukannya.
Penulis, Advokat
dan Kosultan Hukum, tinggal di Jakarta. Founder
and Managing Partners at Law Office ALLECO-Rahmasari Dandung & Partners.