![]() |
(Foto/Ilustrasi) |
Maraknya Pengaburan Sejarah
Oleh: Silvester Detianus Gea*
Thomas Matulessy atau
dikenal dengan nama Kapitan Pattimura lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8
Juni 1783. Ia seorang penganut agama Kristen Protestan. Menurut Ahli waris
pemegang surat pengangkatannya sebagai pahlawan nasional, Thomas Matulessy
tidak menikah sehingga yang melanjutkan keturunan abangnya, Johannis Matulessy.
Hingga kini keluarga ahli waris adalah penganut Kristen Protestan.
Namun, menurut Prof. Ahmad Mansyur
Suryanegara mengatakan bahwa nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy (Mat
Lussy). Menurutnya, Pattimura beragama Islam.
Marcellina Matulessy dan Albert Matulessy (anak buyut Thomas Matulessy), yang berkarir
sebagai seorang polisi pernah membantah klaim Ahmad Mansyur Suryanegara.
Marcellina Matulessy dan Albert Matulessy menunjukkan dokumen-dokumen dan
silsilah keluarga Thomas Matulessy yang menganut agama Kristen Protestan.
Namun Ahmad Mansyur
Suryanegara tidak memberi tanggapan atas data yang diberikan oleh anak buyut
Thomas Matulessy, sehingga beberapa kalangan menilai Ahmad Mansyur Suryanegara
tidak memiliki sikap seorang ilmuan sejati.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa belakangan ini banyak orang yang berupaya mengaburkan sejarah, sehingga
umat dari agama tertentu terkesan tidak memiliki andil dalam memerdekakan
bangsa Indonesia.
W.R. Soepratman
Selain Pattimura yang
diklaim sebagai seorang islam, beredar pula klaim bahwa Wage Rudolf Supratman
yang diklaim beragama Islam (aliran Ahmadiyah). Padahal Wage Rudolf Supratman
(WR Soepratman) adalah seorang penganut agama Katolik yang taat. Masa kecil
hingga dewasa Supratman tinggal di Makassar mengikuti keluarga kakaknya, sampai ia dewasa dan bekerja di perusahaan dagang.
Pada waktu berusia 21 tahun, W. R. Supratman menciptakan lagu Indonesia Raya,
sebagai jawaban atas kegelisahan penulis majalah timbul yang ingin ahli – ahli
musik di Indonesia untuk menciptakan sebuah lagu kebangsaan.
Sementara itu, menurut
Abdul Basit Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam temu dengar dengan para
anggota komisi VIII DPR RI pertanggal 16 Februari 2012 mengeluarkan pernyataan
kontroversial bahwa W R Supratman adalah salah satu anggota Ahmadiyah yang ada
di Indonesia, hal ini dipergunakannya untuk memperkuat statement dia bahwa
Ahmadiyah berkontribusi dalam perjuangan berdirinya Negara Indonesia.
Pernyataan itu sangat aneh dan berlawanan dengan sejarah pendirian Ahmadiyah. Ahmadiyah
berkembang pertama kali di Sumatera Barat (Minangkabau) pada tahun 1925 dan di
Yogyakarta pada tahun 1924. Sama sekali tidak ada keterangan sejarah bahwa W.
R. Supratman pernah menginjakkan kakinya di kedua kota tersebut.
Lalu atas dasar apa klaim dalam buku Kenang-Kenangan
10 Tahun Kabupaten Madiun, yang mengatakan “
……..Tahun 1932, Soepratman mendapat sakit urat sjaraf, disebabkan
lelahnja karena bekerja keras. Setelah beristirahat 2 bulan, di Tjimahi, beliau
kembali ke Djakarta untuk mengikuti aliran Ahmadijah. Sedjak April beliau
bersama kakaknya menetap di Surabaya.”[1] ?.
Kutipan di atas seolah-olah dibuat-buat tanpa keterangan yang jelas.
Seakan-akan karena sakit urat syaraf karena kerja keras, lalu ia beristirahat
dan kemudian pindah ke Jakarta utuk mengikuti aliran Ahmadiyah. Pernyataan ini
benar-benar lucu dan tidak masuk akal. Tak ada hujan, tak ada angin tiba-tiba
ada pernyataan bahwa W.R. Supratman akhirnya mengikuti aliran Ahmadiyah.
Dr. Ahmad Najib Burhani, Ph. D dalam sebuah semi seminar Jalsah Salanah GAI, 24 Desember 2013 mengatakan, "Bagi saya, W. R. Supratman itu bukan, atau saya belum yakin bahwa dia itu, seorang Ahmadiyah. Kenapa? Salah satu buku yang digunakan sebagai landasan bahwa dia itu Ahmadiyah adalah buku "Peringatan Ulang Tahun Kesepuluh Kota Madiun", dan itu jarang yang punya. Saya termasuk yang punya. Dijelaskan di situ bahwa W. R. Supratman ketika sakit datang ke Ahmadiyah. Tetapi di situ tidak dijelaskan bahwa dia Ahmadiyah. Nah, kalau umpamanya ada bukti lain, misalnya ada pernyataan dari keluarga, atau baiat, dan sebagainya, mungkin saya menjadi yakin bahwa dia jemaat Ahmadiyah. Tetapi kalau buktinya hanya buku itu, maka saya belum yakin."
Dr. Ahmad Najib Burhani, Ph. D dalam sebuah semi seminar Jalsah Salanah GAI, 24 Desember 2013 mengatakan, "Bagi saya, W. R. Supratman itu bukan, atau saya belum yakin bahwa dia itu, seorang Ahmadiyah. Kenapa? Salah satu buku yang digunakan sebagai landasan bahwa dia itu Ahmadiyah adalah buku "Peringatan Ulang Tahun Kesepuluh Kota Madiun", dan itu jarang yang punya. Saya termasuk yang punya. Dijelaskan di situ bahwa W. R. Supratman ketika sakit datang ke Ahmadiyah. Tetapi di situ tidak dijelaskan bahwa dia Ahmadiyah. Nah, kalau umpamanya ada bukti lain, misalnya ada pernyataan dari keluarga, atau baiat, dan sebagainya, mungkin saya menjadi yakin bahwa dia jemaat Ahmadiyah. Tetapi kalau buktinya hanya buku itu, maka saya belum yakin."
Maka, semakin jelas
bahwa pernyataan W.R. Supratman seorang Ahmadiyah tidak benar. Meskipun demikian, seringkali dijadikan
rujukan karena diklaim dan ditulis untuk pertama kali dalam bentuk buku ketika
dalam Kenang-Kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun. Sementara itu Gereja Katolik
seringkali tidak ingin menonjolkan umatnya yang berjuang dan ikut serta dalam
kemerdekaan. Meskipun demikian Gereja Katolik tetap mempunyai data dan
keterangan sejak awal bahwa W.R. Supratman adalah seorang Katolik.[2]
Buku Sejarah Nasional
Edisi Pertama yang ditulis oleh M. Sapija dengan jelas menulis bahwa W.R.
Soepratman adalah seorang penganut agama Katolik.[3]
Demikian pula data dari Keuskupan Agung Jakarta menulis bahwa W.R. Soepratman
adalah seorang penganut Katolik.[4]
Klaim secara sepihak tersebut tentu sebuah hal yang sangat lucu dan memalukan demi
“pengakuan” bahwa Ahmadiyah berperan dalam perjuangan kemerdekaan.[5]
Candi Borobudur
Klaim yang sama juga
pernah dilakukan oleh KH. Fahmi Basya juga mengklaim bahwa Candi Borobudur
adalah milik umat Islam karena merupakan peninggalan nabi Sulaiman. KH. Fahmi
Basya yang berprofesi sebagai dosen Matematika UIN Syarif Hidayattullah Jakarta
menerima kritikan dari berbagai pihak karena klaimnya dinilai ahistori.
Referensi:
-M. Sapija, Sedjarah
Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia (1960), hlm. iii, 35.
-J.B. Soedarmanta,
Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, (Jakarta: Grasindo,
2007), hlm. 199.
-Arya Ajisaka, Mengenal
Pahlawan Indonesia, (Jakarta: Kawan Pustaka, 2008), hlm. 9.
-David Matulessy,
Pattimura-Pattimura Muda Bangkit Memenuhi Tuntutan Sejarah (1979), hlm. 70
-Ahmad Mansur
Suryanegara dalam Api Sejarah Volume I (2009) hlm. 200.
-Wajah dan Sejarah
Perjuangan Pahlawan Nasional, Volume 1-2, 1983:53.
- Bernadus Barat Daya dan Silvester Detianus Gea. 2017. Mengenal Tokoh Katolik Indonesia: Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Hingga Pejabat Negara. Labuan Bajo: Yayasan Komodo Indonesia.
[1] Buku
Kenang-kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun halaman 168 s/d 171 , Madiun
1956, penerbit tak diketahui ). 4.
[2] Bernadus
Barat Daya dan Silvester Detianus Gea. 2017. Mengenal Tokoh Katolik Indonesia:
Dari Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Hingga Pejabat Negara. Labuan Bajo:
Yayasan Komodo Indonesia. hlm.14-20.
[3] M.
Sapija, Sedjarah Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia (1960), hlm. iii, 35.
[4] Buku
Bulan Keluarga 2016 dengan tema "Sekolah Kehidupanku." Buku Pemandu
hal. 31 Pertemuan ke 4. Diterbitkan oleh Keuskupan Agung Jakarta.
[5] https://empuss-miaww.blogspot.com/2012/08/benarkah-wage-rudolf-supratman-seorang.html#.XmsSBaMzbIU